22 May 2013

Now, time to my beloved friends!

Tersibukkan oleh rutinitas kuliah yang terkadang membingungkan dan selalu diselimuti "hantu sistem" yang menyebalkan membuat kita semakin bernafas sesak. Entah apa bisa itu semua disebut sebagai kutukan atau tidak, tetapi yang pasti mau tidak mau, kita memang sudah tercebur didalamnya karena suatu hal, yang disebut dengan Pilihan.

Anehnya, memang walaupun tercebur dalam sistem perkuliahan dengan jadwal yang begitu padat dan beberapa tugas kuliah yang membuat kita begadang hingga pagi, kini telah dianggap lumrah. "Ya memang, kalo jadi mahasiswa tidurnya pasti subuh, ga ernah mandi kalo kuliah pagi", (LOL, itu hanya kebiasaan orang yang buruk).

Oke, hari ini adalah tepat jam 13.30 WIB dan seperti biasa saya dan teman-teman "Sosiologi Angkatan 2012" masuk kuliah pada mata kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia. Kami pun masuk kelas, duduk, dan siap bertempur untuk menyerang segala statement ilmu yang diberikan oleh dosen dengan kritikan-kritikan yang didapat dari wahyu OTAK. Namun, untuk kali ini, kita BEBAS sejenak. Ini dalah suatu mukzizat yang tiada tara. Dosen kami tidak dapat menghadiri perkuliahan kali ini, dan terpaksa kita harus absen saja (Alhamdulillah, yes!) wkwkwkwk.

Dan ternyata, enath kenapa, saya ingin sekali mengabadikan moment bagus tersebut dengan kelincahan alias ke'umek-an yang ada dalam diri saya, yaitu dengan berfoto.Yuhuuu, here we go!






Lunturnya Bhineka Tunggal Ika Yang Berpengaruh Terhadap Integrasi Bangsa



Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Sudah kita ketahui pula bahwa negara kita memiliki berbagai macam suku, budaya, ras, kesenian, bahasa, agama, dan adat istiadat yang menjadi aset kebudayaan nasional. Berbagai keberagaman unsur budaya tersebut tercantum dalam semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika. Semboyan Bhineka Tunggal Ika memiliki arti bahwa meskipun kita berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Tulisan semboyan ini terpampang  jelas di bawah lambang negara kita burung Garuda. Dalam lambang Garuda, Bhineka Tunggal Ika berada dalam balutan pita yang dicengkram kaki burung Garuda.
Bhineka Tunggal Ika juga menggambarkan adanya kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Sejatinya Bhineka Tunggal Ika merupakan ideologi bangsa Indonesia yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia saja. Sebuah ideologi yang harusnya meningkatkan kecintaan masyarakat kepada bangsa Indonesia karena dengan semboyan itulah yang membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar. Namun sejak saat ini makna Bhineka Tunggal ika kian memudar. Hal itu dikuatkan dengan perlakuan yang menunjukkan bahwa Bhineka Tunggal Ika hanya sebatas wacana dan tidak dipratekkan.
Masyarakat kini cenderung egois, gengsi dan menganggap bahwa Bhineka Tunggal Ika hanyalah sebuah filsafat kuno. Mereka berpikir bahwa semboyan tersebut tidak mempunyai makna lagi dalam kehidupan yang kekinian dan modern, apalagi sekarang sudah jamannya globlalisasi. Hal itulah yang membuat bangsa Indonesia menjadi berantakan.
Bila kita flasback kembali, sejak masa reformasi, Bhineka Tunggal Ika telah mengalami kemundurannya dan mulai memudar. Masa reformasi seharusnya membawa suatu perubahan menuju arah yang baik dan itu harus berjalan significan. Tetapi yang terjadi adalah reformasi yang tidak tau arah atau reformasi yang keblablasan.  Kala itu sistem otonomi daerah yang berlaku disetiap daerah hanya membawa sistem reformsi yang tidak terkontrol dan tidal berjalan sesuai dengan harapan.
Bisa kita lihat juga bagaimana sikap dan perilaku pemuda Indonesia yang menjadi generasi penerus bangsa sekarang. Mereka kebanyakan tidak mengenal pentingnya memaknai semboyan bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika. Adanya budaya barat yang masuk semakin deras di Indonesia secara langsung mengubah pola pikir dan pola tinggkah laku pemuda sekarang. Bahkan, tidak hanya pemuda saja yang terjerumus masuk pada budaya barat, tetapi semua elemen atau tingkatan masyarakat juga tidak luput dari pengaruhnya.
Sungguh ironi sekali. Ideologi Bhineka Tunggal Ika dengan mudahnya terhapus oleh ideologi-ideologi barat yang kini kebanyakan menjadi konsumsi masyarakat Indonesia. Apalagi hal tersebut diperparah dengan pernyataan-pernyataan yang menyebutkan bahwa Bhineka Tunggal Ika adalah kuno alias kampungan dan bukan menjadi suatu kebutuhan lagi bagi masyarakat Indonesia. Dengan bangganya masyarakat sekarang mencintai dan menggilai unsur-unsur budaya barat dan meningglkan unsur-unsur budaya asli bangsa Indonesia. Bagi mereka Bhineka Tunggal Ika telah mati dalam jiwa dan raganya.
Teringat pula pada saat kehadiran Presiden Amerika, Barrack Obama, yang pernah menyinggung semboyan kita Bhineka Tunggal Ika dalam kuliah umum di Universitas Indonesia saat berkujung ke Indonesia. Dalam pidatonya, Obama secara terbuka mengakui belajar menghargai hubungan antar manusia dengan beragam latar belakang budaya ketika menetap di Indonesia. Menurutnya falsafah “Bhineka Tunggal Ika” yang mendasar dari munculnya semangat toleransi yang tertulis dalam konstitusi (UUD 1945) adalah contoh yang bisa diberikan kepada dunia, dan dengan nilai-nilai ini yang akan bisa membuat Indonesia berperan penting dalam abad ke-21.
Publik pun tersentak dibuatnya. Bahkan secara lugas Obama menyebut “Bhineka Tunggal Ika” sebanyak dua kali. Apalagi pidato tersebut dihadirkan di saat bersamaan dengan perayaan Hari Pahlawan. Tersadarkan bahwa sudah lama sekali kita tidak pernah mendengar Bhineka Tunggal Ika yang selama ini diagung-agungkan sebagai nilai mendasar yang menyatukan berbagai keberagaman, keunikan dan perbedaan di negeri ini.
Memang, telah menjadi fakta bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya Bhineka Tunggal Ika sudah tidak ada. Hal tersebut juga berpengaruh pada kekuatan integrasi bangsa Indonesia. Sekarang yang ada hanya peperangan antar suku, ketegangan-ketengan yang terjadi dalam masyarakat karena adanya diskriminasi ras yang sangat mencolok, etnosentrisme yang menguat, isu-isu kebenaran agama yang saling bergesekan, permasalahan SARA yang semakin membesar, terjadinya cultural lag, dan hingga identitas kebangsaan yang semakin luntur.
Oleh karena itu, jika kondisi seperti ini dibiarkan begitu saja, maka lambat laun, bangsa Indonesia akan hancur. Dimata dunia, bangsa Indonesia akan malu karena tidak dapat berpegang teguh pada pendiriannya. Penjajahan memang tidak terjadi secara fisik, namun penjajahan itu menyerang ideologi kita karena Bhineka Tunggal Ika dijadikan slogan yang hanya terucap di mulut saja.
Faktor-Faktor Penyebab  Makna Bhineka Tunggal Ika Menjadi Luntur
Dalam praktek tumbuh dan berkembangnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang dijunjung tinggi dalam sebuah integrasi nasional Bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika juga turut andil dalam usaha tersebut. Sebuah rasa nasionalisme yang muncul atas rasa persamaan dan solidaritas tinggi akan berbagai macam perbedaan suku, budaya, ras, kesenian, bahasa, agama, dan adat istiadat  harusnya semakin memperkokoh integrasi nasional bangsa Indonesia. Namun, fakta sosial yang terjadi sekarang adalah berbeda. Banyak sekali yang menjadi faktor –faktor penyebab makna Bhineka Tunggal Ika luntur dan berimbas pada renggangnya integrasi bangsa Indonesia. Beberapa faktor tersebut antara lain:

1.    Perbedaan Kepentingan Masyarakat sehingga Mengakibatkan Gesekan-Gesekan Negatif dalam Masyarakat
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terdiri dari beberapa faktor heterogenitas yang sangat mencolok. Hal tersebut terbukti dengan adanya strata sosial yang ada di masyarakat. Namun, pada era kini, strata sosial yang ada pada masyarakat Indonesia adalah terbuka. Pasalnya, kondisi tersebut juga diakibatkan oleh adanya era modern dan globalisasi yang memungkinkan setiap orang bebas bergerak untuk menentukan posisi suatu individu dalam masyarakat.
Kemampuan Sumber Daya Manusia bagi tiap individunya juga berbeda. Adanya keberagaman suku, budaya, ras, kesenian, bahasa, dan agama turut mendorong suatu individu untuk mengelola suatu langkah dan tujuan hidup sesuai dengan yang mereka harapkan. Hingga akhirnya, kepentingan individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok menjadi berbeda. Lingkungan sosial, politik, ekonomi, budaya, pertahanan, dan keamanan juga menjadi salah satu faktor adanya perbedaan kepentingan dalam masyarakat.
Tak khayal, jika kepentingan yang berbeda mengakibatkan adanya gesekan-gesekan dalam masyarakat dikarenakan mereka semua selalu ingin mencari yang terbaik demi kebutuhan hidup mereka dan tidak terlepas dari kodrat manusia yang tidak pernah puas dalam memenuhi kebutuhan hidup. Gesekan-gesekan yang terjadi pada masyarakat menimbulkan suatu bentuk emosi atau kompetisi.
Terkadang cara dan bentuk kompetisi tersebut dilakukan dengan hal yang negatif, bisa juga dengan menghalalkan segala cara tanpa berpikir bahwa cara tersebut merugikan bagi orang lain atau tidak. Ditambah lagi semboyan Bhineka Tunggal Ika pun juga telah luput dalam pegangan atau acuan mereka dalam melaksanakan kompetisi. Kompetisi pun tidak sehat dan membuahkan kerancuan hidup sosial dalam masyarakat.



2.    Isu-Isu Kebenaran Agama yang Bergesekan dalam Masyarakat
Telah diketahui, bahwa agama yang diakui di Indonesia adalah 6 agama, yaitu: Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan Khong-huchu. Dalam kehidupan beragama, kita diajarkan tentang sesuatu yang diwajibakan untuk dilakukan dan tidak melakukan sesuatu hal yang dilarang oleh agama kita. Itu ditujukan agar kita bisa hidup selaras antara di dunia dan di akhirat. Kebenaran agama yang kita anut juga pasti berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan bunyi sila pertama dalam Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan kita adalah Esa.
Hidup bersama dengan masyarakat yang memiliki keberagaman agama hendaknya kita mengutamakan suatu toleransi dan rasa menghormati dan menghargai pada semua pemeluk agama. Semboyan kita lagi-lagi diacuhkan, makna berbeda-beda tetapi tetap satu hanya sepintas di mulut saja. Kini, antara kebenaran suatu agama A atau B mulai disinggung. Masyarakat justru sibuk dengan pemojokkan suatu kebenaran agama yang orang lain anut. Bisa dikatakan seperti “Agama yang saya anut adalah benar, dan agama yang kamu anut adalah salah”.
Selain itu, kondisi juga diperparah dengan adanya penciptaan agama baru yang tidak masuk akal. Contoh kasusnya adalah agama yang dibuat oleh Lia Eden. Dia menyebut dirinya sebagai anak Tuhan dan telah menerima beberapa wahyu yang paling benar dari Tuhan. Hingga akhirnya beliau ditangkap dan di tahan karena bukti bersalah menyebarkan agama palsu. Kemudian, masyarakat sekarang juga semakin memperparah keadaan, banyak diantara mereka yang melakukan tindak kekerasan, tindak kejahatan yang diatas namakan Tuhan. Suatu kekacauan dari yang seharusnya berbeda-beda tetapi tetap satu, namun kini berbeda-beda menghasilkan masalah.

3.    Diskriminasi Akibat Ketimpangan Pembangunan
Indonesia adalah negara yang berkembang. Negara yang sedang berada dalam proses pembangunan yang berkelanjutan ini ternyata juga menjadi salah satu faktor diskriminasi yang mengakibatkan ketimpangan sosial dari proses pembangunannya. Hal tersebut menjadi faktor lunturnya makna Bhineka Tunggal Ika juga.
Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi geografi yang terdapat pada masing – masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju (Development Region) dan wilayah terbelakang (Underdevelopment Region). Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah dan akhirnya masyarakat tidak bisa bersatu.
Istilah “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” semakin menguat karena ketimpangan sosial ini. Perbedaan kelas pun semakin mencolok. Hingga mengakibatkan integrasi masyarakat berkurang antara satu sama lain.

4.    Etnosentrisme
Indonesia yang memiliki keberagaman suku, ras, budaya, dan adat istiadat yang disatukan dalam makna semboyan Bhineka Tunggal Ika.Tetapi ternyata juga masih saja dalam faktanya kita temukan beberapa penghambat rasa kesatuan itu, apalagi jika bukan adanya etnosentrisme. Etnosentrisme adalah kecenderungan memandang rendah orang-orang yang dianggap asing, etnosentrisme memandang dan mengukur budaya asing dengan budayanya sendiri. Hingga akhirnya menilai budaya orang lain adalah budaya yang paling rendah martabatnya dibandingkan dengan budaya kita.
Ironi memang. Budaya daerah yang menjadi aset dan unsur budaya nasional justru tidak dapat kita satukan dengan baik. Adanya rasa kecintaan yang berlebihan dengan budaya daerahnya justru menjadi kondisi yang memperparah makna dari Bhineka Tunggal Ika.Selain itu, fanatisme kedaerahan akan mengancam integrasi bangsa Indonesia dan keutuhan NKRI.

5.    Cultural Lag
Cultural lag adalah bentuk kesenjangan budaya akibat masuknya unsur-unsur globalisasi yang terjadi secara tidak merata dan tidak serempak. Unsur-unsur teknologi yang masuk secara cepat namun tidak diimbangi unsur-unsur sosial budaya yang lambat. Selain itu, sekelompok masyarakat ada yang bisa menyerap dan menerima unsur-unsur globalisasi secara cepat bahkan ada yang cenderung lambat dan tertinggal. Akibatnya, perubahan unsur-unsu sosial budaya terjadi secara tidak serempak yang menimbulkan suatu kesenjangan sosial.

6.    Permasalahan SARA
Berbicara mengenai hal-hal yang bersinggungan dengan SARA, melahirkan kecemasan tersendiri bagi masyarakat. Pasalnya, hal tersebut menyangkut masalah suku, agama, ras, dan antar golongan. Suku, agama, ras dan antar golongan yang ada di bumi pertiwi ini adalah sebuah kekayaan. Kita menggunakan istilah filosofi dasar “Kamu adalah Aku yang lain”. “Saya ada karena kamu ada”. Filosofi sederhana ini menunjukkan bahwa kemajemukan yang ada di bumi Indonesia ini bukanlah sesuatu yang membahayakan dan meresahkan. Kehadiran kita hanya dapat diakui dengan adanya yang lain.
Fakta berkata lain, justru kemajemukan itulah kini menimbulkan suatu perbedaan dan sama sekali tidak mencerminkan Bhineka Tunggal Ika. Contoh kasusnya adalah Ketika urusan politik mulai menunggangi Agama, Ras, Suku, Golongan untuk mencapai tujuan politik, disitulah kesalahan fatal para pelaku politik yang tidak tahu berpolitik. Selain itu, Ketika Agama memberi pencerahan, tapi melewati batas koridornya, misalnya mulai berlaku seolah-olah hakim atas seluruh permasalahan yang ada, entah itu masalah politik, masalah pemerintahan dan masalah lain di luar koridornya, Agama sendiri pun membuat keresahan bagi penganutnya.

7.    Identitas Bangsa yang Mulai Luntur
Bangsa Indonesia adalah memiliki paham nasionalisme (paham kebangsaan) yang menjadi suatu identitas bangsa. Namun, kini telah hilang. Misalnya saja, kini keberadaan keberagaman bahasa daerah yang menjadi aset unsur-unsur budaya nasional kita ataupun bahasa Indonesia yang menjadi bahasa pemersatu bangsa telah luntur. Bahasa Asing seperti bahasa Inggris atau Bahasa Korea telah menjamur di kalangan masyarakat. Justru dengan menggunakan bahasa asing, masyarakat kini lebih bangga dan menganggap bahwa itu adalah suatu mode baru yang menjadi tuntutan agar tidak ketingggalan jaman.
                                    Kemudian, adanya budaya gotong-royong yang menjadi identitas bangsa Indonesia kini luntur dengan sendirinya. Bahkan, di derah-daerah pedesaan kita jarang menemui warga yang bergotong-royong. Masyarakat kini memang asik dengan dunia pekerjaan yang secara tidak langsung menjadikan mereka teraliniasi dengan lingkungannya. Saling menyapa pun jarang dilakukan karena kini meraka cenderung individualis.

Cara Mengembalikan Makna Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” Demi  Menguatkan Integrasi Bangsa Indonesia

            Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, budaya, ras, kesenian, bahasa, agama, dan adat istiadat yang menjadi aset kebudayaan nasional. Berbagai keberagaman unsur budaya tersebut tercantum dalam semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika. Keadaan tersebut menjadikan sebuah identitas atau jati diri bangsa Indonesia yang harus diwujudkan demi tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
            Dengan adanya keberagaman sebagai corak pluralitas, Bangsa Indonesia khususnya masayarakat harusnya menyadari dan menjadikan hal tersebut sebagai penguat dalam berkehidupan. Membina identitas bangsa yang berpedoman Bhineka Tunggal Ika juga memerlukan upaya yang berkesinambungan serta berkaitan dengan berbagai aspek. Kedudukan seseorang sebagai warganegara Indonesia tidak mengenal diskriminasi, kehidupan bersama yang penuh toleransi dan menghindari berbagai perasaan curiga satu dengan yang lain atau tidak adanya trust di dalam kehidupan bersama, kemampuan dan keinginan untuk melihat perbedaan antar suku bukan sebagai hal yang memisahkan di dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari bahkan lebih mempererat dan memperjaya kehidupan dan kebudayaan nasional. Ini dikarenakan dalam era globalisasi sekarang ini setiap bangsa ingin menonjolkan identitas bangsanya agar lebih dikenal di mata dunia.
            Selain itu, adanya dukungan dari beberapa pihak seperti media masa, pendidikan di sektor formal maupun informal juga harus turut andil dalam menciptakan bibit-bibit generasi muda yang mencintai bangsanya. Janganlah sibuk untuk mencari alasan bagaimana makna Bhineka Tunggal Ika itu luncur atau pun musnah, apalagi adanya beberapa isu di berbagai media masa yang menghantam makna Bhine Tunggal Ika yang kian hilang juga hendaknya ditekan. Yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan sebuah makna terpenting dari bhineka Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa Indonesia. Jangan pula kita baru tersentak jika baru terkena musibah pengambilan budaya atau pengambilan unsur- unsur budaya yang dilakukan oleh negara lain terhadap Indonesia. Sudah seharusnya, kuatkan benteng Bhineka Tunggal Ika agar  terwujud integrasi bangsa Indonesia.
Sudah saatnya kita memaknai atau mentransformasikan kembali nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika berdasarkan kondisi kekinian. Jangan jadikan nilai-nilainya sebagai dogma atau doktrin kaku yang tidak bisa mengikuti perkembangan Jaman. Doktrinisasi nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika semata tanpa disertai praktek dalam kehidupan berbangsa jelas hanya akan menjadikannya sebagai nilai kuno semata. Bukan saatnya lagi Bhineka Tunggal Ika hanya dihadirkan sebatas simbol semata tanpa kita berusaha mengisinya dan memperkaya makna yang dikandungnya.
Seperti para pendiri negeri ini yang memperjuangkan Bhineka Tunggal Ika sehingga bisa mempersatukan seluruh anak negeri dari Sabang hingga Merauke, maka saatnya tugas kita untuk terus memperjuangkan agar Bhineka Tunggal Ika tetap bertahan dan menyatukan keberagaman dan perbedaan yang semakin dinamis. Semoga kita terhindar dari situasi kegagalan dimana generasi mendatang hanya bisa berucap bahwa “negara kita dahulu pernah punya falsafah Bhineka Tunggal Ika”. Semoga.
Selain itu, gagasan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar slogan tak bermakna, tetapi harta yang harus dirawat bersama. Inilah inti demokrasi dalam sebuah bangsa yang heterogen. Bila "modal" bersama ini dipelihara baik dan dikelola oleh sebuah kepemimpinan yang bersih dan bijak, bangsa ini akan survive menghadapi tantangan apa pun.


13 May 2013

Manusia Satu Dimesi (Herbert Marcuse)



Masyarakat modern. Ya inilah yang terjadi sekarang, masyarakat yang mempunyai ciri khas dalam peranan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju hingga kini. Rasionalitas zaman sekarang ini terletak dari peran teknologi yang semakin canggih, fungsinya juga semakin mempermudah masyarakat dalam menyelesaikan semua tugas-tugasnya.
Segalanya dipandang dan dihargai sejauh dapat dikuasai, digunakan, diperalat, dimanipulasi dan ditangani. Instrumentalisasi menjadi semacam kata kunci dalam pandangan teknologis. Manusia menciptakan, memanipulasi dan memeralat benda-benda, alam serta mesin-mesin, untuk memudahkan hidupnya. Di saat yang sama, hal itu juga berlangsung di wilayah politik dan kultural. Di sinilah manusia dan masyarakat tak terkecuali berada dalam penguasaan dan manipulasi teknologi.
            Selain instrumentalisasi, ilmu pengetahuan modern juga ditandai dengan istilah operasionalisasi. Maksud dari operasionalisasi ini menyatakan, ilmu-ilmu pengetahuan hanya berguna sejauh dapat diterapkan dan bersifat operabel. Ini tampak dalam penelitian sosial, di mana setiap perubahan yang sifatnya kualitatif disingkirkan.
Marcuse mengambil contoh di bidang penelitian sosial pada sebuah studi tentang relasi kerja dalam pabrik Western Electric Company di Hawthrorne. Ketika mendengar karyawan-karyawan pabrik ini mengeluhkan gaji yang tak cukup, para peneliti menganggap keluhan ini terlalu kabur. Karanenya perlu dioperasionalisasikan. Artinya, perlu diterjemahkan dalam situasi dan tingkah laku yang konkrit.
            Ciri manusia modern selanjutnya menurut Marcuse bahwa masyarakat modern adalah manusia yang irasional dalam keseluruhan. Sebab terjadi kesatuan antara produktivitas (penghasilan) dan destruktivitas (penghancuran). Kekuatan produksi bukan digunakan untuk perdamaian, melainkan untuk menciptakan potensi-potensi permusuhan dan kehancuran. bahkan, dengan satu tujuan itu, dimensi-dimensi lain justru disingkirkan.
Namun Marcuse juga menyebutkan bahwa manusia modern adalah manusia yang sakit. Sebuah masyarakat yang hanya berpikir dan bertindak dalam satu dimensi (one dimension), yaitu satu masyarakat yang seluruh aspek kehidupannya diarahkan pada satu tujuan belaka. Masyarakat semacam ini bersifat represif dan totaliter. Kendati memperoleh banyak kemudahan, manusia tetap ter-alienasi, sebagaimana dikemukakan Marx pada abad ke-19.
Sejarah mencatat bahwa manusia - - dalam industry modern - - memiliki kemungkinan yang objektif agar dapat merealisasi pemuasan akan kebutuhan kebutuhannya. Tetapi yang terjadi sesungguhnya, manusia tetap saja terhalang karena adanya suasana represif. Peran dan peluang ilmu pengetahuan dan teknologi memang amat besar. Ukuran rasionalitas masyarakat adalah rasionalitas teknologi. Manusia dan masyarakat masuk ke dalam perangkap, penguasaan, dan manipulasi teknologi. Teknologi mempu menggantikan tenaga manusia bukan saja dalam bidang industry, tetapi juga dalam seluruh mata rantai kehidupan. Asalkan ia dapat dikuasai, digunakan, diperalat, dimanipulasi, atau ditangani, berarti ia sudah terjerat dalam system yang mutakhir ini. 
Teknologi yang tadinya diciptakan sebagai alat emansipasi dari kekejaman alam, kini malah dipakai untuk menindas atau merepresi manusia. Karena itu menurut Marcuse hal yang menonjol dalam mayarakat modern adalah 'toleransi represif,' yakni toleransi yang member kesan seolah-olah menjanjikan kebebasan yang luas, padahal maksudnya tidak lain dari menindas. Kemanusiaan, kebebasan, otonomi dan social life tidak diberi kesempatan, semuanya sudah menjadi alat. 
Lucunya, masyarakat demikian, menurut Marcuse, lebih suka mempertahankan status quo itu; apakah system kapitalisme atau para penganut system sosialisme/komunisme. Masyarakat modern juga tidak menunjukkan adanya penghapusan kelas sebagaimana yang dicanangkan Marx. Bedanya,rakyat banyak (termasuk kaum buruh) mkendukung kelangsungan system tersebut dan sekaligus ikut pula dalam system yang sudah begitu mapan. Marx mengemukakan bahwa kaum buruh mengeluh akibat pekerjaan yang berat dan membosankan, ditambah pula akibat upah kerja yang amat rewndah dari kaum modal, sementara Marcuse mengatakan kini kaum buruh tak mengeluh lagi dengan kerja kerasnya karena pemuasan kebutuhan terpenuhi. Kaum buruh tidak reaksuoner lagi; mereka sudah menjadi para pembela system kerja itu sendiri.
Dalam masyarakat teknologi modern, peran manusia menjadi tidak menonjol. Teknologi sudah merupakan ungkapan kepentingan pribadi, bahkan kepentingan golongan yang dipaksakan pada massa banyak. Potensi emansipasi yang ada dalam diri individu tenggelam dalam teknologi. Masyarakat menjadi ter-alienasi; ia telah mengasingkan manusia dari kemanusiaannya. Akibatnya manusia semakin tak sadar bahwa mereka berada dalam keadaan teralienasi atau terasing. 
Teknologi membangkitkan keinginan agar system tersebut dapat terus dipertahankan dan dikembangkan. Manusia seolah terjepit dalam satu lingkaran. Di satu pihak, semakin besar tingkat produktivitas memungkinkan peningkatan konsumsi yang besar pula; sedangkan dipihak lain, satu-satunya alas an bagi konsumsi ialah dengan menjamin berlangsungnya produktivitas. Alat-alat produksi berkat keampuhan teknologi dengan mekanisasi, standardisasi, otomatisasi seharusnya dapat membebaskan manusia dari keharusan kerja industry kerja mengakibatkan "ideology" instrumental memasukim bidang kehidupann lainnya. Meski, pada kenyataannya, tuntutan ekonomis dan politis memaksa untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan waktu kerja. Akibatnya, manusia hanya mampu memperoleh pemuasan kebutuhan–kebutuhan semu belaka. Mereka tidak tahu apa mendorongnya membeli dan menggunakan sesuatu; semua ini bukan timbul dari lubuk hatinya, melainkan hanya Cuma sekedar melihat orang lain. Ia menjadi tidak otonom dalam bersikap.
Teknologi bukannya lagi menjadi sarana pembebasan, melainkan menjadi sarana penindasan. Manusia seharusnya mendobrak tekanan tersebut untuk mencapai kebebasannya. Namun, ini malah direpresi oleh masyarakat secara keseluruhan, membuat manusia terbius, sehingga pandangannya menjadi 'manusia satu dimensi'. Disini timbul satu pertanyaan ; dengan tidak memiliki kesadaran akan dirinya, apakah ia mempu memanfaatkan teknologi bagi kepentingannya sendiri, ataukah teknologi telah mengarahkan kepentingannya? Kalau teknologi yang mengarahkan manusia, tentu mini berarti ia sudah teralineasi dalam perbudakan baru. Potensi emansipatoris yang ada jadi tenggelam akibat ketidaksadarannya. Itu berbeda dengan alineasi kerja ala Marx. Pada Marx, kaum buruh sadar akan keterasingannya, sehingga mereka diharapkan melakukan revolusi. Sedangkan padsa masyarakat industry modern, kesadaran ini tak muncul. Mereka tidak pernah berpikir apakah mereka memang teralineasi terhadap linkungannya.
Lalu, bagaimana kita keluar dari lingkaran tertutup itu? Menurut Marcuse, kaum buruh tak bisa diharapkan lagi; kita harus mencari manusia-manusia yang anti terhadap kemapanan. Ini hanya ada pada golongan atau kelompok marjinal.Mereka adalah kelompok yang terdiri dari golongan kecil, yang kesadarannya belum teracuni; mereka adalah kelompoik individu yang terpojok dan tertindas, sehingga mampu memberontak dari segala kemapanan. Dan satu-satunya kelompok yang bisa melakukan hal itu adalah kaum muda, para mahasiswa, dan golongan cendikiawan yang selalu kritis melihat situasi social budaya ; mereka adalah kaum yang terus menentang segala bentuk 'establishment'; mereka harus mengucapkan "the great refusal," ; mereka harus menolak terlibat dalam system totaliter ini; mereka harus bertekad untuk tidak ikut dalam system itu lagi.
Marcuse tidak bermaksud membuang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah berkembang sedemikian rupa itu. Ia tidak menganjurkan agar kita kembali ketempat asali seperti diserukan J.J Rouseau. Semua yang ada harus diubah secara kualitatif, sehingga kita mendapatkan suatu masyarakat yang memiliki kualitas lain. Cita-citanya untuk membentuk masyarakat baru secara konkret dituturkan lewat "kitab suci" One Dimensional Man itu. Pertama, harus diberi kesadaran pada orang untuk mengurangi rasa ingin berkuasa. Yang penting konsentrasi kekuasaan harus bisa diredakan. Kedua, sudah waktunya orang mengurangi perkembangan yang berlebihan. Sebab ini merupakan kebutuhan-kebutuhan kita yang palsu, yang sering secara artificial dibangkitkan oleh system produksi. Ini perlahan-lahan harus ditinggalkan untuk meningkatkan mutu kehidupan.
Apa yang dikemukakan Marcuse terhadap masyarakat modern adalah suatu 'kritik ideologi' terhadap pembangunan kemanusiaan kita. Sekadar merangkum pikiran Marcuse ini, kita dapat menyebut dua pandangan pokok. Pertama ia mau melakukan suatu perobahan total dengan jalan revolusi, di mana dilibatkan kelompok-kelompok individu yang anti kemapanan. Kedua, ia mau mengadakan suatu perubahan dari hal yang kuantitatif kearah yang kualitatif. Karena ada kecenderungan mempertahankan system yang ada, apa yang dikembangkan adalah suatu pembangunan yang tak pernah bisa dikritik. Masyarakat modern tidak lagi aktif, tetapi sangat pasif. Padahal, perkembangan dalam masyarakat demikian justru secara terus menerus membawa dan memperkuat ideology terdahulu. 
Marcuse menolak semua karena dianggapnya cumalah kepalsuan-kepalsuan dan sudah waktunya manusia diberi kesadaran kritis. Disini pula ia mengajukan serangkaian kritik terhadap ilmu pengetahuan positif dan teknologi. Dengan lantang ia menyindir bahwa kemajuan semua yang dicapai masyarakat industry modern harus dirombak dan dibebaskan dari kepalsuan-kepalsuan.

God, Next month is my new exam on Second Semest!!

Hello guys ? How are you ? Really hope you always fine too. Oh My God, next month is June. Well, i will join on my new exam for my second semest on my college, maybe i must study hard again (oke, no problem). Keep calm :) But, on second semest i have 24 SKS for my study. Let's see my "KRS" :
 
God, i hope my next exam will be okay and i success to do it. For my next "IPK= (3,99)"~amin..
Please,grand my wish God. Amin

11 May 2013

Benturan Antar Budaya (Samuel P. Huntington)

Pesat dan derasnya arus modernisasi yang terjadi sekarang membuat masyarakat mulai dienakkan dengan segala kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Hal tersebut membuat mereka semakin dipermudah untuk menerima beberapa informasi berbagai belahan dunia dengan cepat. Apalagi sekarang ditambah dengan adanya penggunaan internet, hanya dengan sekali klik, kita bisa menjelajahi dunia dalam waktu satu detik saja.

 Perkembangan era modernisasi juga membawa masyarakat pada sebuah dunia globalisasi. Globalisasi dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang telah mendunia. Dalam hal ini masyarakat telah dikonstruksi dalam satu budaya yang global. Tak heran jika dengan adanya kondisi seperti itu yang terjadi adalah munculnya inovasi dan discovery dari satu budaya ke budaya lainnnya hingga munculah beberapa budaya, trend, atau mode-mode baru yang sangat disukai bahkan digemari oleh masyarakat. Tidak diragukan jika nanti yang terjadi adalah muncul westernisasi yaitu sikap yang kebarat-baratan alias sikap yang menunjukkan bahwa masyarakat mengunggul-unggulkan budaya barat.

Sikap itulah yang akhirnya membawa budaya barat yang menjadi budaya global menjadi budaya yang berhasil mendominasi berbagai budaya lain yang ada di dunia. Budaya barat seakan-akan menjadi kutub bagi budaya lainnya. Kesempatan itulah yang membuka celah bahwa produk budaya global akan mengalahkan produk budaya lokal. 

Sekilas masyarakat tidak merasakan dampak dari dominasi budaya barat yang menjadi budaya global terhadap budaya lokal yang menjadi ciri khas budaya daerahnya. Mereka memang terkesan cenderung memakai dan menikmati hasil budaya global itu sendiri. Kenyataan menyebutkan bahwa sekarang masyarakat mengalami pergeseran budaya tersebut seperti menyukai makanan fast food, makan dengan berdiri dan berjalan cepat layaknya masyarakat yang hidup di budaya barat, suka makan makanan KFC, MC Donald dan Pizza Hut, cenderung memakai pakaian yang mini, dan hidup bebas ala orang barat.   Ketika semua itu dilakukan, yang menjadi alasan utama adalah mengikuti trend masa kini alias ingin menjadi masyarakat yang “gaul”. Mereka pun tak mau ketinggalan jaman. Namun jika hal ini terus menerus dan dilakukan dengan sadar, maka masyarakat akan benar-benar kehilangan budaya lokalnya dan kehilangan jati diri identitasnya. 

Teringat pula oleh kalimat pepatah yang mengatakan bahwa “Jika engkau ingin menguasai suatu negara, maka hancurkanlah dahulu budayanya”. Benar sekali jika kita kaitkan dengan keadaan yang terjadi yaitu budaya barat akan mendominasi dan budaya yang lain akan terdominasi. Intinya budaya barat adalah pemegang kekuasaan budaya dari semua negara. Lalu, pertanyaannya adalah apakah masyarakat yang terdominasi budayanya hanya tinggal diam saja dan menerima kondisi seperti itu ? Apakah mereka tidak tergerak untuk mengembalikan kembali jati diri dan identitas budayanya ? 

Seperti yang dikatakan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya Benturan antar peradaban dan masa depan politik dunia (2002: 12, 8-9): “Sebagian masyarakat-masyarakat non barat, berusaha menandingi barat dan berjuang mengejar ketertinggalan mereka dari barat. Masyarakat-masyarakat non barat, terutama masyarakat Asia Timur, mengembangkan kekayaan ekonomi mereka serta menciptakan basis kekuatan militer dan politik. Seiring dengan semakin meningkatnya kekuatan dan keyakinan diri, mereka semakin memantapkan nilai-nilai budaya mereka sendiri dan menolak segala “pemaksaan” yang dilakukan oleh barat terhadap mereka.” Penolakan yang dilakukan oleh masyarakat-masyarakat non-barat dikenal dengan sebutan Westoksikasi dengan suatu pernyataan bahwa “kami akan menjadi modern, tetapi kami tidak akan seperti anda”.(Huntington, 2002:166) 


Inilah salah satu bentuk konkret yang dilakukan oleh masyarakat non barat yang berusaha untuk mengembalikan jati diri dan identitas asli budaya mereka. Dengan upaya penolakan alias westoksikasi tersebut, masyarakat bekerja sama saling menguatkan rasa nasionalisme mereka terhadap negaranya. Rasa kebangsaan (nasionalisme) muncul dengan realisasi gerakan “pribumisasi diri”, di level Asia gerakan westoksikasi dikenal dengan sebutan “Asianisasi”. Penolakan tersebut dilakukan dengan cara mereka yang saling gembar-gembor dan bertindak tegas untuk tetap melestarikan budaya aslinya. Mereka mempromosikan pula nilai-nilai budaya aslinya dan sekarang budaya non-barat pun menjadi trend di budaya barat. Secara gamblang itu memperlihatkan bahwa budaya barat lambat laun akan terkikis oleh kekuatan budaya non-barat yang saling ber-westoksikasi padanya.