Bangsa Indonesia
adalah bangsa yang besar. Sudah kita ketahui pula bahwa negara kita memiliki
berbagai macam suku, budaya, ras, kesenian, bahasa, agama, dan adat istiadat
yang menjadi aset kebudayaan nasional. Berbagai keberagaman unsur budaya
tersebut tercantum dalam semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika memiliki arti bahwa meskipun kita berbeda-beda
tetapi tetap satu jua. Tulisan semboyan ini terpampang jelas di bawah lambang negara kita burung
Garuda. Dalam lambang Garuda, Bhineka Tunggal Ika berada dalam balutan pita
yang dicengkram kaki burung Garuda.
Bhineka Tunggal
Ika juga menggambarkan adanya kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
Sejatinya Bhineka Tunggal Ika merupakan ideologi bangsa Indonesia yang hanya
dimiliki oleh bangsa Indonesia saja. Sebuah ideologi yang harusnya meningkatkan
kecintaan masyarakat kepada bangsa Indonesia karena dengan semboyan itulah yang
membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar. Namun sejak saat ini makna
Bhineka Tunggal ika kian memudar. Hal itu dikuatkan dengan perlakuan yang
menunjukkan bahwa Bhineka Tunggal Ika hanya sebatas wacana dan tidak
dipratekkan.
Masyarakat kini
cenderung egois, gengsi dan menganggap bahwa Bhineka Tunggal Ika hanyalah
sebuah filsafat kuno. Mereka berpikir bahwa semboyan tersebut tidak mempunyai
makna lagi dalam kehidupan yang kekinian dan modern, apalagi sekarang sudah
jamannya globlalisasi. Hal itulah yang membuat bangsa Indonesia menjadi
berantakan.
Bila kita flasback kembali, sejak masa reformasi,
Bhineka Tunggal Ika telah mengalami kemundurannya dan mulai memudar. Masa
reformasi seharusnya membawa suatu perubahan menuju arah yang baik dan itu
harus berjalan significan. Tetapi yang terjadi adalah reformasi yang tidak tau
arah atau reformasi yang keblablasan.
Kala itu sistem otonomi daerah yang berlaku disetiap daerah hanya
membawa sistem reformsi yang tidak terkontrol dan tidal berjalan sesuai dengan
harapan.
Bisa kita lihat
juga bagaimana sikap dan perilaku pemuda Indonesia yang menjadi generasi
penerus bangsa sekarang. Mereka kebanyakan tidak mengenal pentingnya memaknai
semboyan bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika. Adanya budaya barat yang masuk
semakin deras di Indonesia secara langsung mengubah pola pikir dan pola
tinggkah laku pemuda sekarang. Bahkan, tidak hanya pemuda saja yang terjerumus
masuk pada budaya barat, tetapi semua elemen atau tingkatan masyarakat juga
tidak luput dari pengaruhnya.
Sungguh ironi
sekali. Ideologi Bhineka Tunggal Ika dengan mudahnya terhapus oleh ideologi-ideologi
barat yang kini kebanyakan menjadi konsumsi masyarakat Indonesia. Apalagi hal
tersebut diperparah dengan pernyataan-pernyataan yang menyebutkan bahwa Bhineka
Tunggal Ika adalah kuno alias kampungan dan bukan menjadi suatu kebutuhan lagi
bagi masyarakat Indonesia. Dengan bangganya masyarakat sekarang mencintai dan
menggilai unsur-unsur budaya barat dan meningglkan unsur-unsur budaya asli
bangsa Indonesia. Bagi mereka Bhineka Tunggal Ika telah mati dalam jiwa dan
raganya.
Teringat pula
pada saat kehadiran Presiden Amerika, Barrack Obama, yang pernah menyinggung
semboyan kita Bhineka Tunggal Ika dalam kuliah umum di Universitas Indonesia
saat berkujung ke Indonesia. Dalam pidatonya, Obama secara terbuka mengakui
belajar menghargai hubungan antar manusia dengan beragam latar belakang budaya
ketika menetap di Indonesia. Menurutnya falsafah “Bhineka Tunggal Ika” yang
mendasar dari munculnya semangat toleransi yang tertulis dalam konstitusi (UUD
1945) adalah contoh yang bisa diberikan kepada dunia, dan dengan nilai-nilai
ini yang akan bisa membuat Indonesia berperan penting dalam abad ke-21.
Publik pun
tersentak dibuatnya. Bahkan secara lugas Obama menyebut “Bhineka Tunggal Ika”
sebanyak dua kali. Apalagi pidato tersebut dihadirkan di saat bersamaan dengan
perayaan Hari Pahlawan. Tersadarkan bahwa sudah lama sekali kita tidak pernah
mendengar Bhineka Tunggal Ika yang selama ini diagung-agungkan sebagai nilai
mendasar yang menyatukan berbagai keberagaman, keunikan dan perbedaan di negeri
ini.
Memang, telah menjadi
fakta bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya Bhineka Tunggal Ika sudah
tidak ada. Hal tersebut juga berpengaruh pada kekuatan integrasi bangsa
Indonesia. Sekarang yang ada hanya peperangan antar suku, ketegangan-ketengan
yang terjadi dalam masyarakat karena adanya diskriminasi ras yang sangat
mencolok, etnosentrisme yang menguat, isu-isu kebenaran agama yang saling
bergesekan, permasalahan SARA yang semakin membesar, terjadinya cultural lag,
dan hingga identitas kebangsaan yang semakin luntur.
Oleh karena itu,
jika kondisi seperti ini dibiarkan begitu saja, maka lambat laun, bangsa
Indonesia akan hancur. Dimata dunia, bangsa Indonesia akan malu karena tidak
dapat berpegang teguh pada pendiriannya. Penjajahan memang tidak terjadi secara
fisik, namun penjajahan itu menyerang ideologi kita karena Bhineka Tunggal Ika
dijadikan slogan yang hanya terucap di mulut saja.
Faktor-Faktor
Penyebab Makna Bhineka Tunggal Ika
Menjadi Luntur
Dalam praktek tumbuh
dan berkembangnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang dijunjung tinggi
dalam sebuah integrasi nasional Bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika juga
turut andil dalam usaha tersebut. Sebuah rasa nasionalisme yang muncul atas
rasa persamaan dan solidaritas tinggi akan berbagai macam perbedaan suku, budaya,
ras, kesenian, bahasa, agama, dan adat istiadat
harusnya semakin memperkokoh integrasi nasional bangsa Indonesia. Namun,
fakta sosial yang terjadi sekarang adalah berbeda. Banyak sekali yang menjadi
faktor –faktor penyebab makna Bhineka Tunggal Ika luntur dan berimbas pada
renggangnya integrasi bangsa Indonesia. Beberapa faktor tersebut antara lain:
1.
Perbedaan Kepentingan Masyarakat
sehingga Mengakibatkan Gesekan-Gesekan Negatif dalam Masyarakat
Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang terdiri dari beberapa faktor heterogenitas
yang sangat mencolok. Hal tersebut terbukti dengan adanya strata sosial yang
ada di masyarakat. Namun, pada era kini, strata sosial yang ada pada masyarakat
Indonesia adalah terbuka. Pasalnya, kondisi tersebut juga diakibatkan oleh
adanya era modern dan globalisasi yang memungkinkan setiap orang bebas bergerak
untuk menentukan posisi suatu individu dalam masyarakat.
Kemampuan
Sumber Daya Manusia bagi tiap individunya juga berbeda. Adanya keberagaman
suku, budaya, ras, kesenian, bahasa, dan agama turut mendorong suatu individu
untuk mengelola suatu langkah dan tujuan hidup sesuai dengan yang mereka
harapkan. Hingga akhirnya, kepentingan individu dengan individu, individu
dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok menjadi berbeda. Lingkungan
sosial, politik, ekonomi, budaya, pertahanan, dan keamanan juga menjadi salah
satu faktor adanya perbedaan kepentingan dalam masyarakat.
Tak
khayal, jika kepentingan yang berbeda mengakibatkan adanya gesekan-gesekan
dalam masyarakat dikarenakan mereka semua selalu ingin mencari yang terbaik
demi kebutuhan hidup mereka dan tidak terlepas dari kodrat manusia yang tidak
pernah puas dalam memenuhi kebutuhan hidup. Gesekan-gesekan yang terjadi pada
masyarakat menimbulkan suatu bentuk emosi atau kompetisi.
Terkadang
cara dan bentuk kompetisi tersebut dilakukan dengan hal yang negatif, bisa juga
dengan menghalalkan segala cara tanpa berpikir bahwa cara tersebut merugikan
bagi orang lain atau tidak. Ditambah lagi semboyan Bhineka Tunggal Ika pun juga
telah luput dalam pegangan atau acuan mereka dalam melaksanakan kompetisi.
Kompetisi pun tidak sehat dan membuahkan kerancuan hidup sosial dalam
masyarakat.
2.
Isu-Isu Kebenaran Agama yang Bergesekan
dalam Masyarakat
Telah
diketahui, bahwa agama yang diakui di Indonesia adalah 6 agama, yaitu: Islam,
Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan Khong-huchu. Dalam kehidupan beragama,
kita diajarkan tentang sesuatu yang diwajibakan untuk dilakukan dan tidak
melakukan sesuatu hal yang dilarang oleh agama kita. Itu ditujukan agar kita
bisa hidup selaras antara di dunia dan di akhirat. Kebenaran agama yang kita
anut juga pasti berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan bunyi sila
pertama dalam Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan kita adalah Esa.
Hidup
bersama dengan masyarakat yang memiliki keberagaman agama hendaknya kita
mengutamakan suatu toleransi dan rasa menghormati dan menghargai pada semua
pemeluk agama. Semboyan kita lagi-lagi diacuhkan, makna berbeda-beda tetapi
tetap satu hanya sepintas di mulut saja. Kini, antara kebenaran suatu agama A
atau B mulai disinggung. Masyarakat justru sibuk dengan pemojokkan suatu
kebenaran agama yang orang lain anut. Bisa dikatakan seperti “Agama yang saya anut adalah benar, dan agama
yang kamu anut adalah salah”.
Selain
itu, kondisi juga diperparah dengan adanya penciptaan agama baru yang tidak
masuk akal. Contoh kasusnya adalah agama yang dibuat oleh Lia Eden. Dia
menyebut dirinya sebagai anak Tuhan dan telah menerima beberapa wahyu yang
paling benar dari Tuhan. Hingga akhirnya beliau ditangkap dan di tahan karena
bukti bersalah menyebarkan agama palsu. Kemudian, masyarakat sekarang juga
semakin memperparah keadaan, banyak diantara mereka yang melakukan tindak
kekerasan, tindak kejahatan yang diatas namakan Tuhan. Suatu kekacauan dari
yang seharusnya berbeda-beda tetapi tetap satu, namun kini berbeda-beda
menghasilkan masalah.
3.
Diskriminasi Akibat Ketimpangan
Pembangunan
Indonesia
adalah negara yang berkembang. Negara yang sedang berada dalam proses
pembangunan yang berkelanjutan ini ternyata juga menjadi salah satu faktor
diskriminasi yang mengakibatkan ketimpangan sosial dari proses pembangunannya.
Hal tersebut menjadi faktor lunturnya makna Bhineka Tunggal Ika juga.
Ketimpangan
pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan
ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya
perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi geografi yang
terdapat pada masing – masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan
suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena
itu, tidaklah mengherankan bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat
wilayah maju (Development Region) dan wilayah terbelakang (Underdevelopment
Region). Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi
terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah dan akhirnya masyarakat
tidak bisa bersatu.
Istilah
“Yang kaya makin kaya, yang miskin makin
miskin” semakin menguat karena ketimpangan sosial ini. Perbedaan kelas pun
semakin mencolok. Hingga mengakibatkan integrasi masyarakat berkurang antara
satu sama lain.
4.
Etnosentrisme
Indonesia
yang memiliki keberagaman suku, ras, budaya, dan adat istiadat yang disatukan
dalam makna semboyan Bhineka Tunggal Ika.Tetapi ternyata juga masih saja dalam
faktanya kita temukan beberapa penghambat rasa kesatuan itu, apalagi jika bukan
adanya etnosentrisme. Etnosentrisme adalah kecenderungan memandang
rendah orang-orang yang dianggap asing, etnosentrisme memandang dan mengukur
budaya asing dengan budayanya sendiri. Hingga akhirnya menilai budaya orang
lain adalah budaya yang paling rendah martabatnya dibandingkan dengan budaya
kita.
Ironi memang. Budaya daerah yang menjadi aset dan unsur budaya nasional
justru tidak dapat kita satukan dengan baik. Adanya rasa kecintaan yang
berlebihan dengan budaya daerahnya justru menjadi kondisi yang memperparah
makna dari Bhineka Tunggal Ika.Selain itu, fanatisme kedaerahan akan mengancam
integrasi bangsa Indonesia dan keutuhan NKRI.
5.
Cultural Lag
Cultural
lag adalah bentuk kesenjangan budaya akibat masuknya unsur-unsur globalisasi
yang terjadi secara tidak merata dan tidak serempak. Unsur-unsur teknologi yang
masuk secara cepat namun tidak diimbangi unsur-unsur sosial budaya yang lambat.
Selain itu, sekelompok masyarakat ada yang bisa menyerap dan menerima
unsur-unsur globalisasi secara cepat bahkan ada yang cenderung lambat dan
tertinggal. Akibatnya, perubahan unsur-unsu sosial budaya terjadi secara tidak
serempak yang menimbulkan suatu kesenjangan sosial.
6.
Permasalahan SARA
Berbicara
mengenai hal-hal yang bersinggungan dengan SARA, melahirkan kecemasan
tersendiri bagi masyarakat. Pasalnya, hal tersebut menyangkut masalah suku,
agama, ras, dan antar golongan. Suku, agama, ras dan antar golongan yang ada di
bumi pertiwi ini adalah sebuah kekayaan. Kita menggunakan istilah filosofi
dasar “Kamu adalah Aku yang lain”. “Saya ada karena kamu ada”. Filosofi sederhana
ini menunjukkan bahwa kemajemukan yang ada di bumi Indonesia ini bukanlah
sesuatu yang membahayakan dan meresahkan. Kehadiran kita hanya dapat diakui
dengan adanya yang lain.
Fakta
berkata lain, justru kemajemukan itulah kini menimbulkan suatu perbedaan dan
sama sekali tidak mencerminkan Bhineka Tunggal Ika. Contoh kasusnya adalah
Ketika urusan politik mulai menunggangi Agama, Ras, Suku, Golongan
untuk mencapai tujuan politik, disitulah kesalahan fatal para pelaku politik
yang tidak tahu berpolitik. Selain itu, Ketika Agama memberi pencerahan, tapi
melewati batas koridornya,
misalnya mulai berlaku seolah-olah hakim atas seluruh permasalahan yang ada,
entah itu masalah politik, masalah pemerintahan dan masalah lain di luar
koridornya, Agama sendiri pun membuat keresahan bagi penganutnya.
7.
Identitas Bangsa yang Mulai Luntur
Bangsa
Indonesia adalah memiliki paham nasionalisme (paham kebangsaan) yang menjadi
suatu identitas bangsa. Namun, kini telah hilang. Misalnya saja, kini
keberadaan keberagaman bahasa daerah yang menjadi aset unsur-unsur budaya
nasional kita ataupun bahasa Indonesia yang menjadi bahasa pemersatu bangsa
telah luntur. Bahasa Asing seperti bahasa Inggris atau Bahasa Korea telah
menjamur di kalangan masyarakat. Justru dengan menggunakan bahasa asing,
masyarakat kini lebih bangga dan menganggap bahwa itu adalah suatu mode baru
yang menjadi tuntutan agar tidak ketingggalan jaman.
Kemudian, adanya budaya
gotong-royong yang menjadi identitas bangsa Indonesia kini luntur dengan
sendirinya. Bahkan, di derah-daerah pedesaan kita jarang menemui warga yang
bergotong-royong. Masyarakat kini memang asik dengan dunia pekerjaan yang
secara tidak langsung menjadikan mereka teraliniasi dengan lingkungannya.
Saling menyapa pun jarang dilakukan karena kini meraka cenderung individualis.
Cara
Mengembalikan Makna Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” Demi Menguatkan Integrasi Bangsa Indonesia
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang besar. Bangsa yang terdiri dari berbagai macam
suku, budaya, ras, kesenian, bahasa, agama, dan adat istiadat yang menjadi aset
kebudayaan nasional. Berbagai keberagaman unsur budaya tersebut tercantum dalam
semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika. Keadaan
tersebut menjadikan sebuah identitas atau jati diri bangsa Indonesia yang harus
diwujudkan demi tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Dengan
adanya keberagaman sebagai corak pluralitas, Bangsa Indonesia khususnya
masayarakat harusnya menyadari dan menjadikan hal tersebut sebagai penguat
dalam berkehidupan. Membina identitas bangsa yang berpedoman Bhineka Tunggal
Ika juga memerlukan upaya yang berkesinambungan serta berkaitan dengan berbagai
aspek. Kedudukan seseorang sebagai warganegara Indonesia tidak mengenal
diskriminasi, kehidupan bersama yang penuh toleransi dan menghindari berbagai
perasaan curiga satu dengan yang lain atau tidak adanya trust di dalam
kehidupan bersama, kemampuan dan keinginan untuk melihat perbedaan antar suku
bukan sebagai hal yang memisahkan di dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari
bahkan lebih mempererat dan memperjaya kehidupan dan kebudayaan nasional. Ini dikarenakan dalam era globalisasi sekarang ini
setiap bangsa ingin menonjolkan identitas bangsanya agar lebih dikenal di mata
dunia.
Selain
itu, adanya dukungan dari beberapa pihak seperti media masa, pendidikan di
sektor formal maupun informal juga harus turut andil dalam menciptakan
bibit-bibit generasi muda yang mencintai bangsanya. Janganlah sibuk untuk
mencari alasan bagaimana makna Bhineka Tunggal Ika itu luncur atau pun musnah,
apalagi adanya beberapa isu di berbagai media masa yang menghantam makna Bhine
Tunggal Ika yang kian hilang juga hendaknya ditekan. Yang perlu kita lakukan
adalah mengembalikan sebuah makna terpenting dari bhineka Tunggal Ika yang
menjadi semboyan bangsa Indonesia. Jangan pula kita baru tersentak jika baru
terkena musibah pengambilan budaya atau pengambilan unsur- unsur budaya yang
dilakukan oleh negara lain terhadap Indonesia. Sudah seharusnya, kuatkan
benteng Bhineka Tunggal Ika agar
terwujud integrasi bangsa Indonesia.
Sudah saatnya kita
memaknai atau mentransformasikan kembali nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika
berdasarkan kondisi kekinian. Jangan jadikan nilai-nilainya sebagai dogma atau
doktrin kaku yang tidak bisa mengikuti perkembangan Jaman. Doktrinisasi
nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika semata tanpa disertai praktek dalam kehidupan
berbangsa jelas hanya akan menjadikannya sebagai nilai kuno semata. Bukan
saatnya lagi Bhineka Tunggal Ika hanya dihadirkan sebatas simbol semata tanpa
kita berusaha mengisinya dan memperkaya makna yang dikandungnya.
Seperti para pendiri
negeri ini yang memperjuangkan Bhineka Tunggal Ika sehingga bisa mempersatukan
seluruh anak negeri dari Sabang hingga Merauke, maka saatnya tugas kita untuk
terus memperjuangkan agar Bhineka Tunggal Ika tetap bertahan dan menyatukan keberagaman
dan perbedaan yang semakin dinamis. Semoga kita terhindar dari situasi
kegagalan dimana generasi mendatang hanya bisa berucap bahwa “negara kita
dahulu pernah punya falsafah Bhineka Tunggal Ika”. Semoga.
Selain itu, gagasan
Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar slogan tak bermakna, tetapi harta yang harus
dirawat bersama. Inilah inti demokrasi dalam sebuah bangsa yang heterogen. Bila
"modal" bersama ini dipelihara baik dan dikelola oleh sebuah
kepemimpinan yang bersih dan bijak, bangsa ini akan survive menghadapi
tantangan apa pun.